Setelah runtuhnya rezim diktator Soeharto yang
kemudian bersilih dengan reformasi, pers di Indonesia seakan kembali bangkit
dari kematian. Bagaimana tidak, bagi Orde Baru, pers dilihat bahkan dinilai
hanya semata sebagai alat pemerintah dengan dalih menjaga stabilitas negera.
Namun, alih-alih menjaga stabilitas negara, justru dengan keadaan yang demikian
Indonesia ibarat mengandung berbagai permasalahan yang kemudian baru dapat
dimuntahkan pada titik jenuh yang paling menjengahkan.
Lantas, dengan berbagai peluh dan perjuangan,
akhirnya pers mampu menggaet lagi kebebasan mereka sebagai agen perubahan sosial
masyarakat atau juga kita kenal dengan istilah institusi sosial. Terus
berkembang beriringan dengan perkembangan demokrasi, pers yang hingga dewasa
ini dijamin kebebasannya makin leluasa dalam memberitakan berbagai hal utamanya
pemerintah. Tak ada lagi pembredelan paksa, jika-jika ditemukan sejumput
kalimat atau sepenggal kata-kata yang melaporkan bahwa pemerintah tak berjalan
sesuai dengan relnya, seperti Orde Baru dulu. Bahkan lebih dari itu, semakin
dewasa kebebasan pers dikandung dalam badan, justru mereka semakin longgar
dalam pemeberitaannya.
Tak jarang berbagai kaidah jurnalistik mereka
kesampingkan demi kepentingan-kepentingan tertentu, yang pada gilirannya
berkontribusi pada berbagai kerugian untuk masyarakat. Atau kalau kita
berbicara secara teoritis, maka secara praksis antara das sein dan das sollen
dari kebebasan pers tidaklah seiring dan sejalan. Seolah jalan raya, ia
bercabang-cabang dan entah di mana ujung pangkalnya. Selanjutnya berbicara pers
dan kebebasannya, mereka tak lekang dari proses yang menyertainya, yaitu
komunikasi politik. Pers sebagaiama telah disebutkan di atas pun menjadi alat
dalam proses komunikasi politik baik dari rakyat kepada penguasa atau
sebaliknya. Dengan demikian, maka “bagaimanakah sebenarnya pers dan
kebebasannya tersebut yang juga berproses dalam komunikasi politik negeri ini?”
Kebebasan
Pers dalam Tinjauan Komunikasi Politik
Kebebsan pers digadang-gadang sebagai entitas yang
mampu menyemburatkan kancah perpolitikan Indonesia menjadi lebih sehat.
Dikatakan bahwa dengan dibebaskannya lembaga pers dari berbagai kekangan,
utamanya dari pemerintah, maka serta merta pers mampu melakukan kontrol sosial
secara optimal. Namun sayangnya, menurut pengamatan penulis dan juga beberapa
pakar negeri ini, jika berbicara ihwal kebebasan pers, maka entitas ini kini
begitu lekat dengan istilah kebablasan. Dengan
kata lain, lembaga pers dalam menerapkan kebebasannya dinilai cukup berlebihan.
Lebih dari pada itu, kadangkala atau bahkan sering kali seakan para insan pers melupakan
berbagai kaidah jurnalistik dalam produksi pesan mereka.
Dengan demikian, jika kita kaitkan hal di atas
dengan proses komunikasi politik di Indonesia, maka tak pelak hal tersebut
dapat mengguncangkan atau bahkan mengacaukan perjalanan komunikasi politik
negeri ini. Betapa tidak, pers dengan hak bebas
dari dan bebas untuk-nya
tersebut, dapat dikatakan sebagai salah satu komunikator politik negeri ini,
tentunya setelah tiga pilar demokrasi lainnya, yakni eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Dalam hal ini, kalau pers dikaidahkan untuk dapat meliput dan
menyiarkan berita dengan melampui kedua belah pihak atau dikenal dengan istilah
cover both side. Maka, justru dewasa
ini mereka begitu subjektif bahkan cenderung menaruh curiga berlebihan dalam
meliput berita tertentu. Sebut saja berbagai berita tentang DPR, kita ketahui
bahwa hari ini begitu banyak anggota DPR yang terjerat oleh kasus korupsi. Hari
demi hari pers begitu gandrung memberitakan topik tersebut dengan terus
menggali secara kritis dari mana saja aliran dana korupsi mengalir yang
kemudian setelah diusust pun menyertakan para petinggi partai-partai tertentu
dalam aksinya. Di sisi lain, apakah benar para anggota DPR senantiasa melakukan
seluruh kegiatan buruk tersebut? Pers hari ini lupa untuk dapat me-cover both side pemeberitaannya.
Bukankah masyarakat juga perlu edukasi, setidaknya tentang anggota DPR yang
memiliki prestasi tertentu, bukankah tentu ada DPR berprestasi?.
Oleh karena itu, pers dengan kebebasannya jika
ditinjau dari komunikasi politik setidaknya berfungsi sebagai berikut (Abrar,
Ana Nadhya, 2011: 144-149).
- Memfasilitasi khalayak memahami isu politik. Pers sebagai komunikator politik yang telah diberi hak bebas dari dan untuk semestinya memberikan pemahaman bagi khalayak tentang isu-isu, agenda-agenda, atau berbagai pembicaraan politik yang berlangsung di dalam negeri dengan berimbang. Lebih dari apa yang telah dilakukan pers hari ini. Sebab hari ini, pers kita masih berkutat pada kepentingan ekonomi politik media yang sarat akan bingkai subjektifitas.
- Menjadi bagian dari proses politik. Poin ini dapat kita contohkan dengan peran politik pers dalam menghantarkan Indonesia menuju gerbang reformasi. Pers walau dibungkam sedemikian rupa, mampu membantu dalam suksesi kebebasan rakyat dari orde baru pada zaman itu yang dengan kata lain mengantarkan jiwa politik Indonesia menjadi Negara berkedaulatan rakyat.
- Menjaga khalayak tertarik akan politik. Menjadikan rakyat tertarik akan politik bagi pers, dapat diejawantahkan dengan mendorong masyarakat untuk sadar akan politik lantas membuat mereka berkeinginan untuk ikut serta dalam proses politik tersebut, misalnya dengan menyulut rakyat bahwa berbagai regulasi dan peraturan pemerintah membutuhkan andil rakyat.
- Atau jika kita tinjau dari fungsinya sebagai komunikator massa, maka setidaknya ia harus mengedukasi, memberi informasi, menghibur, dan memengaruhi. Maka dalam berbagai ranah fungsi tersebut harapannya, pers dengan kebebasannya mampu berjalan sesuai kaidah atau justru lebih baik lagi secara praksisnya. Kebebasan yang diberikan bukan berarti pers dengan sesuka hati mengumbar berbagai aib politik lantas diproduksi dan dipaksa untuk dijejalkan pada masyarakat. Sehingga, pers dengan begitu mestinya lebih santun dalam menata kebebasannya, namun juga tidak berarti membatasi apa yang ingin diberitakan. Dengan demikian komunikasi politik neegeri ini dapat ditaui dalam cara yang lebih baik.
Simpulan dan
Saran
Berbicara pers dan kebebasannya, mereka tak lekang
dari proses yang menyertainya, yaitu komunikasi politik. Pers sebagaiama telah
disebutkan di atas pun menjadi alat dalam proses komunikasi politik baik dari
rakyat kepada penguasa atau sebaliknya. Namun sayangnya, lembaga pers dalam
menerapkan kebebasannya dinilai cukup berlebihan. Lebih dari pada itu,
kadangkala atau bahkan sering kali seakan para insan pers melupakan berbagai
kaidah jurnalistik dalam produksi pesan mereka. Padahal jika ditinjau dalam
komunikasi politik, setidaknya pers mesti (1) memfasilitasi khalayak memahami
isu politik. menjadi bagian dari proses politik, dan (3) menjaga khalayak
tertarik akan politik. Maka, harapannya pers Indonesia mampu lebih santun dalam
mengendalikan kebebasannya dan secara berimbang memberitakan berbagai hal bagi
khalayaknya.
Referensi:
Abrar, Ana Nadhya. 2011. Analisis Pers Teori dan Praktik. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Cangara,Hafid. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta:
Rajawali Pers.
No comments:
Post a Comment