Credit Picture: ZoomWalls |
Kamu tahu? Dikerdilkan itu mempesona. Bagaimana mungkin?
Tentu, tentu saja. Tapi aku ingin membeberkan pra-syaratnya terlebih dahulu.
Kamu benar-benar akan mendapatinya begitu mempesona bilamana Allah mengizinkan
demikian.
Hmmm… ya sesederhana itu. Segala hal begitu sederhana jika
Allah yang selesaikan. Ting!
Suatu saat nanti atau mungkin saat ini juga kamu sedang
mengalaminyakah? Dikerdilkan. Siapa yang rela dirinya yang berharga itu
dikerdilkan? Ini lain lagi ceritanya jika variabelnya antara Allah dan kita
(hamba) ya… Oke fix! Kita lebih dari kosa kata itu di hadapan Allah,
setuju kan?
Kita kembali ke pertanyaan sebelumnya, siapa yang rela dan
suka ria dikerdilkan? Aku rasa tak ada! Kamu tidak setuju? Itu hakmu, kawan. Tapi
aku yakin bahwa setiap diri ingin dihargai, setiap jiwa ingin dimuliakan,
setiap pribadi ingin dianggap berarti. Karena itu fitrah.
Tetapi, pada suatu masa akan hadir orang-orang yang sejenak
menghempaskan eksistensi diri. Mereka secara sadar atau tidak sadar telah
menggores dan meninggalkan perasaan kerdil pada yang lain. Jujur, aku berharap
suatu saat nanti mereka mempelajarinya. Mereka belajar bahwa mereka telah salah
tindak, yah jika tak bernyali meminta maaf, setidaknya aku akan bahagia sekali
jika kalian mau menginsyafi diri. Mari bersama menginsyafi diri.
Lantas, bagaimana pula dikerdilkan itu mempesona? Iya,
kawan. Allah yang melukiskan pesona itu. Pesona yang membuat aku sadar, betapa
dikerdilkan itu melukai harga diri. Kemudian aku dihantarkan ilmu Allah bahwa
tak sepantasnya kamu menjadi pelaku selanjutnya. Bukankah setiap mukmin punya
kualitas?
Bahkan, Allah dengan jelas mengabarkan bahwa hanya Allah
saja yang mengetahui setiap yang dikandung dalam hati. Allah saja yang punya
kehakiman yang adil. Allah saja yang tahu hamba mana yang paling bertakwa.
Lalu, pantaskah aku menjadi pelaku?